Borobudur
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Borobudur adalah sebuah
candi Buddha yang terletak di
Borobudur,
Magelang,
Jawa Tengah,
Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100
km di sebelah barat daya
Semarang, 86 km di sebelah barat
Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut
Yogyakarta. Candi berbentuk
stupa ini didirikan oleh para penganut
agama Buddha Mahayana sekitar tahun
800-an Masehi pada masa pemerintahan
wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia,
[1][2] sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia.
[3]
Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang
diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi
dengan 2.672 panel
relief dan aslinya terdapat 504
arca Buddha.
[4] Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia.
[3]
Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan
ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang di
dalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai
sempurna dengan
mudra (sikap tangan)
Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan
Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat
ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.
[5]
Para peziarah masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi
dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil
terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam
kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah
Kāmadhātu (ranah hawa nafsu),
Rupadhatu (ranah berwujud), dan
Arupadhatu
(ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui
serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460
panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14
seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta
mulai masuknya pengaruh Islam.
[6] Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh
Sir Thomas Stamford Raffles,
yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa.
Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan
dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga
1982 atas upaya
Pemerintah Republik Indonesia dan
UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar
Situs Warisan Dunia.
[3]
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun
umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci
Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.
[7][8][9]
Sejarah
Pembangunan
Lukisan karya G.B. Hooijer (dibuat kurun 1916—1919) merekonstruksi suasana di Borobudur pada masa jayanya
Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan apa kegunaannya.
[21]
Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis
aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis
aksara yang lazim digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9.
Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800 masehi.
[21] Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan wangsa
Syailendra di Jawa Tengah,
[22] yang kala itu dipengaruhi Kemaharajaan
Sriwijaya.
Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 - 100 tahun
lebih dan benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan raja
Samaratungga pada tahun 825.
[23][24]
Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di
Jawa kala itu beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui
sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana yang taat, akan tetapi
melalui temuan
prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa mereka mungkin awalnya beragama Hindu Siwa.
[23] Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai candi Hindu dan Buddha di
Dataran Kedu. Berdasarkan
Prasasti Canggal, pada tahun 732 M, raja beragama Siwa
Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci
Shiwalingga yang dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6.2 mil) sebelah timur dari Borobudur.
[25] Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan candi-candi di
Dataran Prambanan,
meskipun demikian Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M,
dua puluh lima tahun lebih awal sebelum dimulainya pembangunan candi
Siwa
Prambanan sekitar tahun 850 M.
Pembangunan candi-candi Buddha — termasuk Borobudur — saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya,
Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi.
[26] Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa
Kalasan kepada
sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan
Candi Kalasan yang dibangun untuk memuliakan
Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan dalam
Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi.
[26]
Petunjuk ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa
kuno, agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik,
dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan
mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya.
[27]
Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada
masa itu — wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya
yang memuja
Siwa — yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan
Ratu Boko.
[28] Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di
Prambanan,
candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan
sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik
wangsa Syailendra,
[28]
akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan
kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak
Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.
[29]